Detail Cantuman
Pencarian Spesifik
Text
Djawa Dipa : Sama Rata, Sama Rasa, Sama Bahasa 1917-1922
Tidak Tersedia Deskripsi
Ketersediaan
20250305AKN | 332.42 Tha d C.1 | My Library | Tersedia |
Informasi Detail
Judul Seri |
-
|
---|---|
No. Panggil |
332.42 Tha d
|
Penerbit | komunitas Bambu : Depok., 2022 |
Deskripsi Fisik |
14x21cm, xxiv,126hal
|
Bahasa |
Indonesia
|
ISBN/ISSN |
9786237357292
|
Klasifikasi |
332.42 Tha d
|
Tipe Isi |
text
|
Tipe Media |
-
|
---|---|
Tipe Pembawa |
-
|
Edisi |
-
|
Subjek | |
Info Detail Spesifik |
Buku ini mengangkat perjuangan Gerakan Djawa Dipa, sebuah gerakan kebudayaan dan sosial yang aktif antara tahun 1917 hingga 1922, dengan tujuan utama untuk menghapus sistem feodalisme tradisional dalam masyarakat Jawa. Caranya? Dengan menyeragamkan penggunaan bahasa Jawa—khususnya memberlakukan bahasa Jawa Ngoko sebagai standar komunikasi sehari-hari, menggantikan hirarki bahasa seperti Krama dan Krama Inggil yang selama ini mencerminkan stratifikasi sosial.
Gerakan ini lahir dari ide bahwa penggunaan bahasa yang penuh unggah-ungguh menyebabkan rakyat menjadi takut, rendah diri, dan mental budak—menghambat keberanian untuk menyuarakan kebenaran. Djawa Dipa hadir sebagai sebuah "cahaya kesadaran" (terinspirasi dari ajian wayang bernama “Dipa”) untuk membebaskan rakyat Jawa dari cengkeraman budaya feodal ini.
Gerakan ini mendapat dukungan tokoh-tokoh penting seperti Tjokrosoedarmo, yang mendeklarasikan Djawa Dipa di Surabaya pada Maret 1917, serta dukungan dari tokoh pergerakan seperti Tjokroaminoto, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat). Mereka memandang Djawa Dipa sebagai sarana untuk menyatukan masyarakat Jawa dalam kesetaraan sosial melalui bahasa.
Namun, tidak semua menerima ide ini. Kalangan priyayi dan elit konservatif menilai gerakan tersebut mengancam budaya luhur dan kesusastraan Jawa. Meski begitu, Djawa Dipa juga merambah ke media—melalui surat kabar organisasi seperti Hindia Dipa, yang memperluas pengaruhnya dalam masyarakat.
Pada puncaknya, gerakan ini mulai meredup pada tahun 1922, dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti perubahan politik di Sarekat Islam, ketergantungan yang terlalu terpusat di Surabaya, dan munculnya bahasa Indonesia yang menjadi sarana komunikasi yang lebih luas dan inklusif di Hindia Belanda. Meski begitu, ide-ide kesetaraan yang diusung Djawa Dipa tetap menjadi inspirasi bagi generasi pergerakan selanjutnya
|
Pernyataan Tanggungjawab |
-
|
Versi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain